By. Usman Lonta
Buang handuk acapkali digunakan oleh atlit dalam dunia olah raga. Prasa ini dijadikan ungkapan sebagai penanda bahwa atlet tersebut menyerah, tidak bisa lagi melanjutkan pertarungan.
Prasa buang handuk, tidak semata mata digunakan dalam dunia olah raga, tetapi sudah memasuki juga dunia bisnis, dunia pendidikan, dan dunia politik. Menjelang Pemilihan Kepala Daerah serentak fenomena Buang handuk sudah menggejala beberapa pekan terakhir ini. Dalam dunia politik, setidaknya pilkada serentak yang akan dilaksanakan tahun ini telah menampakkan gejala beberapa bakal calon, baik bupati, walikota, maupun gubernur terpaksa mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pertarungan (buang handuk).
Fenomena buang handuk tersebut setidaknya dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu pertama, faktor internal kandidat yakni :
Sulitnya memperoleh dukungan partai politik 20 % dari total kursi, sebagai syarat yang ditetapkan oleh undang – undang 10 tahun 2016, tentang Pemilihan Kepala Daerah, rendahnya hasil survei kandidat yang bersangkutan, sehingga mereka mengurungkan langkah untuk berburu ambang batas 20 % tersebut, dan mahalnya biaya politik yang akan digunakan pada saat pilkada.
Kedua, faktor eksternal, faktor ini sungguh di luar kendali kandidat, yaitu ; tingginya ambang batas syarat calon kepala daerah, dan adanya kandidat yang secara sadar dan sengaja melakukan aksi “memborong semua partai ” hingga dirinya saja yang memenuhi syarat.
Sulitnya mendapatkan dukungan untuk memenuhi syarat minimal menjadi keluhan umum para kandidat. Fenomena saling sandera, saling begal partai adalah hal yang tak terelakkan, elit partai menunjukkan kuasanya secara sempurna, tanpa peduli terhadap isu dan harapan yang berkembang pada basis pemilih partai pada saat pemilihan umum dilaksanakan.
Buang handuk pada dunia olah dilakukan secara sadar oleh atlit dengan jiwa yang sangat lapang. Namun dalam dunia politik, buang handuk acapkali dilakukan dengan sangat terpaksa, bahkan dipaksa untuk berhenti; dipaksa oleh aturan khususnya ambang batas minimum pencalonan, dipaksa berhenti oleh elit partainya dengan berbagai alasan. Alasan survey, pembiayaan, dan alasan kepentingan nasional. Ada juga kandidat karena dipaksa oleh keadaan, yaitu habisnya partai partai politik diborong oleh salah satu kandidat. Tidak memberi ruang kepada lawan tandingnya untuk berebut simpati masyarakat. Jika dilakukan secara sadar dan sengaja, maka cara seperti ini adalah cara yang sangat tidak fair, tidak mendidik, bahkan bisa merendahkan harkat dan martabat manusia. Coba bayangkan calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik berhadapan dengan kertas kosong yang dibuat oleh percetakan, betapa rendahnya harkat dan martabat kandidat tersebut dipersandingkan dengan kertas kosong. Meskipun menang, orang akan menilai bahwa kemenangan tersebut tetap tidak terhormat karena lawan tandingnya tidak setara, apalagi kalau kalah, mungkin yang akan terjadi adalah buang muka setiap ketemu orang.
Saya tutup tulisan ini dengan sebuah tamsil, bahwa seringkali kita memperoleh banyak manfaat dari sebotol air mineral yang menghapus dahaga ketika kita dalam kehausan, dan seringkali pula kita celaka dengan air bah yang berlebihan karena berpotensi menenggelamkan kita. Ambillah secukupnya jangan berlebihan
Wallahu a’lam bishshawab
Sungguminasa 25 Juli 2024.
Comment