Euforia Menuju Pemilu, Sudah Bersihkah Para Kandidatnya?

Niar Novitasari, S.KM, M.Kes Sebagai : Dosen Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Parepare

UUD 1945, Bab VIIB tentang Pemilihan Umum, Pasal 22E ayat 1 dan 2 berturut-turut menyatakan: (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali; (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Daerah. 

Kedua ayat di atas secara jelas memaparkan hal mendasar terkait pemilu. Namun kenyataannya di lapangan, sangat disayangkan kerap kali diberitakan terkait kecurangan-kecurangan sebelum hari-H Pemilu.

Kecurangan-kecurangan yang santer diberitakan media mengikis sebagian kepercayaan publik pada penyelenggaraan pemilu.

Sudah rahasia umum bahwa malam-malam krusial menuju pemilu menjadi ajang “adu kantong” para kandidatnya atau bahasa masyarakatnya yah “serangan fajar.”

Biasanya, mereka anggota tim sukses akan menargetkan masyarakat kecil, memberikan rayuan persuasi dan janji-janji fana, lalu menyelipkan lembar-lembar rupiah berbalut amplop kepada si target. Lalu, hap! Masuk perangkap.

Seperti kata Mahfud MD ketika menghadiri seminar di salah satu kampus negeri bahwa, “pemilu itu curang, iya curang. Tapi beda curang yang dulu dengan sekarang,” (dilansir dari detik.com).

Rakyat kita bukannya tidak punya kuasa untuk menolak pemberian, tapi daripada memikirkan opsi menolak, memilih uang untuk memenuhi kebutuhan makan selama seminggu dirasa lebih baik meski harus ditukar dengan hak pilih yang bernilai 5 tahun itu.

Jika kondisi ini terus berlanjut, maka akan mengaburkan makna seungguhnya dari poin bebas, rahasia, jujur, dan adil pada pasal 22E ayat 1 tentang pemilu.

Dampaknya, sebagian masyarakat yang merasa muak dengan situasi ini memilih melepaskan hak pilihnya alias golput sajalah, toh negara ini tidak akan berubah, pikir mereka.

Sebelum terlewat, ada satu lagi fenomena yang membuat masyarakat kian meragukan kredibilitas pemimpin-pemimpin negara tercinta ini. Namanya budaya flexing kekayaan keluarga pejabat.

Ini yang membuat tanduk saya naik hingga menimbulkan keinginan untuk ikut melontarkan komentar kebencian, tapi tentu saja tidak saya lakukan.

Istri dan anak-anak pejabat pemerintahan saling memamerkan kekayaan di media sosial masing-masing. Mengenakan tas merk H senilai ratusan juta, berikut pakaian dan aksesori lain yang nilainya tak kalah fantastis. Flexing barang-barang mewah yang sumber kekayaannya patut untuk dipertanyakan ini kembali lagi menimbulkan pertanyaan-pertanyaan bagi kita. Siapa lagi yang bisa kita percaya? Bagaimana dengan kandidat pemilu nantinya? Sudah bersihkah mereka?

Di tengah gempuran fenomena-fenomena tersebut, tentu saja saya tidak mengajak kawan-kawan sekalian untuk turut skeptis dan memulangkan langkah sebelum masuk ke bilik suara nantinya. Ada banyak ranah demokrasi yang dapat kita manfaatkan untuk menyuarakan kritisisme dan mencari solusi bersama.

Hal sekecil mencari informasi terkait kinerja nyata para kandidat sebagai bahan pertimbangan pun dapat dilakukan. Selain itu lebih aktif dalam memanfaatkan media sosial untuk mengakses forum-forum politik juga diperlukan sebagai bahan edukasi mandiri.

Saya optimis bahwa negara ini bisa berubah jika jatuh ke tangan pemimpin yang tepat. Mari kita gunakan hak pilih untuk menyaring pemimpin terbaik tanpa termakan propaganda politik yang menggoda. (***)

Nama : Niar Novitasari, S.KM, M.Kes

Sebagai : Dosen Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Parepare

Comment