TAKALAR, DHOURNALIST.com – Program Smart PAD Kabupaten Takalar dinilai telah gagal dalam mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD) itu. Ironisnya, program yang diluncurkan oleh Pemkab Takalar pada tahun 2023 itu menelan anggaran daerah sebesar Rp 2,8 miliar.
Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Takalar periode 2019-2024, Ahmad Jaiz menilai, tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) Pemkab Takalar telah gagal dalam melakukan pengelolaan keuangan daerah.
Padahal, kata Ahmad Jaiz, Pemkab Takalar telah menggunakan program Smart PAD dengan maksud untuk meningkatkan pendapatan asli daerah tersebut.
“Namun kenyataannya, PAD Takalar justru mengalami penurunan. Lantas bagaimana dengan program Smart PAD yang telah menelan anggaran miliar dari dana APBD itu?” imbuh Ahmad Jaiz, Jumat (13/9/2024).
Politisi Partai Keadilan Sejahtera Takalar ini mengatakan program Smart PAD tersebut sangat mubazir karena tidak memberikan dampak peningkatan pendapatan daerah bagi Takalar.
“Selama dua tahun terakhir yakni 2023-2024 pasca jalannya program Smart PAD, pendapatan daerah justru mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya, ini ada apa?” tanya Ahmad Jaiz.
Dia membeberkan, bahwa PAD Takalar saat ini baru mencapai kisaran 7,5 persen dari target PAD tahun ini. Padahal, kata dia, ini sudah memasuki triwulan ketiga.
“Jadi wajar saja nanti kalau target PAD tahun ini tidak dapat tercapai,” imbuh Ahmad Jaiz.
Dia menilai, kegagalan capaian PAD ini akibat kesalahan Pemkab Takalar dalam melakukan pengelolaan keuangan daerah.
“Itu sebabnya, TAPD harus bertanggung jawab atas kesalahan ini karena membuat estimasi pendapatan yang terlalu tinggi. Sementara kemampuan para pengelola PAD sangat terbatas dalam meraup pundi-pundi ke kas daerah,” ujar Ahmad Jaiz.
Dia mengatakan, polemik mengenai tidak dibayarnya TPP ASN Takalar karena anggaran habis digunakan untuk membayar program pinjaman pemulihan ekonomi nasional (PEN) pemerintah daerah, adalah kabar yang tidak benar. Menurut dia, belanja pegawai sudah dihitung sejak awal tahun oleh pemerintah.
“Sehingga kegagalan pembayaran TPP ASN itu karena Pemkab Takalar tidak mampu meningkatkan PAD. Bukan kegagalan pengelolaan dana alokasi umum (DAU) yang mana dana PEN itu bersumber dari DAU,” jelas Ahmad Jaiz.
Lebih jauh dia mengatakan, efek dari kegagalan Pemkab Takalar dalam mendongkrak PAD berimbas pada tidak mampunya pemerintah membayar tambahan penghasil pegawai (TPP) bagi aparatur sipil negara (ASN) di Takalar. Selain itu, berbagai proyek yang telah direncanakan tidak berjalan dan terbengkalai.
“Yang paling miris adalah lambannya pembayaran ADD dan BHPR yang membuat para kepala desa dan aparatnya terlambat terima gaji. Kasihan para aparat desa terlambat digaji sementara mereka bekerja terus melayani masyarakat,” tegas Ahmad Jaiz.
Sementara itu, pakar administrasi publik dari Universitas Hasanuddin, Rizal Pauzi menilai sejatinya dua tahun merupakan waktu yang cukup bagi pemerintah daerah mengatur keuangan daerah dengan baik. Tujuannya, kata Rizal, agar tidak ada yang tumpang tindih antara pembayaran utang PEN dengan operasional, belanja, dan tambahan pegawai pemerintah lainnya.
“Dengan syarat, tidak ada program ambisius tambahan yang dilakukan pasca Covid-19 oleh pejabat pemerintah selanjutnya,” ujar Rizal.
Menurut dia, pada prinsipnya ada beberapa daerah yang kurang tepat menggunakan dana PEN, karena menggunakan anggaran untuk infrastruktur yang tidak menimbulkan perputaran uang atau tidak menyebabkan pendapatan daerah. Rizal mengatakan, dana PEN ini tetap untuk masyarakat dan pembagunan.
“Sehingga kalau dikorelasi kondisi sekarang, APBD sekarang saya pikir itu bukan hanya soal masalah PEN tapi masalah tata kelola anggaran penyusunan APBD yang kurang optimal,” ujar dia.
Dia mengatakan, pimpinan daerah yang berstatus penjabat bupati seperti di Takalar yang sudah masuk dalam dua tahun, bila APBD diurus dan disusun dengan baik tidak akan menjadi masalah. Alasannya, skema PEN itu sangat jelas, sehingga yang harus dilakukan adalah bagaimana memprioritaskan program-program yang penting saja.
“Tapi yang bersoal karena banyak penjabat di daerah itu yang punya program sendiri. Jadi menggunakan anggaran APBD untuk program yang menjadi keinginan dari penjabat bupati. Padahal harusnya penyusunan APBD dua tahun terakhir, harusnya hanya menjalankan penganggaran yang sifatnya wajib,” ujar Rizal.
“Wajib itu seperti operasional, gaji pegawai, kemudian fasilitas kantor dan lainnya. Kemudian pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan dan seterusnya,” imbuh dia. (**)
Comment