Dialog Multipihak: Ruang Hidup Perempuan di Sulsel Dirampas

forum Dialog Multi Pihak yang digelar Solidaritas Perempuan (SP) Anging Mammiri bersama Aksi For Gender di Hotel Vasaka Makassar, Senin (11/12/2023).

MAKASSAR,DJOURNALIST.com – Hatia, perempuan buruh dari Takalar pernah mengecap kehidupan dari pertanian yang dikelolanya, hasilnya lebih dari cukup untuk membuat asap dapur mengepul, memenuhi sandang dan papan hingga menyekolahkan anak-anaknya meraih cita-cita.

Tapi semua pupus takkala PT Perkebunan Nusantara IX yang didukung oleh pemerintah merampas lahan garapannya di Takalar.

Tuturan nasib hidup Hatia Dg Kennang yang kini bersama suaminya menjadi buruh bangunan itu, setali tiga uang dengan nasib Ramla, perempuan pesisir yang tinggal di Kecamatan Tallo Kota Makassar. Sebelumnya sebagai nelayan ia bisa mendapatkan penghasilan Rp 150 ribu. Penghasilan segitu sudah bisa memenuhi kehidupan keluarganya plus menyekolahkan anaknya. Tetapi proyek strategis nasional yaitu Makassar New Port (MNP) yang dibangun, telah menghancurkan sumber penghasilannya tersebut.

“Saya menjadi miskin karena dimiskinkan,”ungkap Hatia, Senin (11/12/2023) ketika membagi kisah pahit hidup yang dialaminya di forum Dialog Multi Pihak yang digelar Solidaritas Perempuan (SP) Anging Mammiri bersama Aksi For Gender di Hotel Vasaka Makassar, Senin (11/12/2023).

Menurut Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Anging Mammiri, Suryani apa yang dialami oleh buruh migran hingga nelayan dalam dialog ini adalah bentuk ketimpangan yang nyata pada perempuan dan ketidakberpihakan pemerintah terhadap masyarakat miskin di Sulawesi Selatan.

Padahal, lanjut perempuan yang kerap disapa Ani ini, pembangunan selama ini dirancang hanya untuk kepentingan investasi, proyek-proyek, bisnis dan jasa tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan ekonomi masyarakat khususnya perempuan juga bagaimana melihat dampaknya terhadap lingkungan dan sumber kehidupan masyarakat termasuk perempuan.

Karenanya dalam forum dialog Multipihak ini, Ani mengajukan beberapa tuntutan seperti bahwa pihak yang merancang pembangunan seperti pihak pemerintah seharusnya melibatkan masyarakat sejak akan dirancang hingga pelaksanaan terutama masyarakat yang terdampak atas pembangunan tersebut, juga melibatkan pihak lain seperti pemerhati lingkungan, kelompok pemerhati anak dan perempuan. Ani juga mengingatkan pembangunan tersebut juga berperspektif gender.

“Semua harus dilibatkan baik dari masyarakat akademisi kelompok masyarakat maupun masyarakat sipil mereka harus terlibat di situ agar betul semua bisa menyuarakan apa yang menjadi persoalan dihadapi tidak hanya membantai pada kelompok tertentu saja pada sebuah dialog dan proses konsultasi,” katanya.

Sementara Koordinator program Aksi! for gender, social and ecological justice Risma Umar, memaparkan, masyarakat miskin di Sulsel mengalami peningkatan dalam kurun waktu lima tahun ini. Risma menyebutkan sekitar 74.000 jiwa masuk kategori miskin di Sulsel, sementara lebih dari 1000 warga masuk kategori miskin ekstrem.

“Kemiskinan ekstrem dimana seseorang tidak mampu mencapai taraf hidup kebutuhan dasar seperti air, makan, listrik karena penghasilan di bawah Rp500.000 per bulan dengan tiga orang anak,” jelasnya.

Pihak pemerintah provinsi yang hadir, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan, Muhammad Ilyas mengemukakan, Pemprov Sulsel mendorong perekonomian perempuan pesisir, termasuk kepulauan dalam hal pengolahan hasil tangkap nelayan.

Artinya, pihak pemerintah ingin mengatasi problem kemiskinan di masyarakat pesisir dengan mengarahkan perempuan pesisir untuk mau mengelola sektor hilir dari perikanan. Saat yang sama, pihak pemerintah juga masih belum menemukan solusi bagaimana meningkatkan taraf hidup masyarakat.

“Saya sedang berpikir keras bagaimana caranya bisa meningkatkan pendapatannya di atas Upah Minimum Regional (UMR) di Sulsel,” pungkasnya.(#)

Comment