MAKASSAR,DJOURNALIST.com – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Selatan belum bisa mengambil sikap tentang mencabut aturan eks koruptor nyaleg di Pemilu 2024. Sebagaimana yang diputuskan Mahkamah Agung (MA).
“Kami menunggu perintah pimpinan dalam hal ini KPU RI,”ujar Komisioner KPU Sulawesi Selatan Ahmad Adi Wijaya saat dikonfirmasi Djournalist.com melalui sambungan telpon, Ahad 1 Oktober 2023.
Ia mengaku tak ingin gegabah melakukan pencoretan terhadap eks koruptor yang sudah terdaftar dalam DCT begitu saja.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Selatan menyebut ada enam eks caleg narapidana yang maju di Pemilu 2024 di DPRD Provinsi.
Yaitu Muhammad Ilyas Banno (Gerindra) yang bertarung di daerah pemilihan (Dapil) Sulsel 6. Kemudian Muhammad Rustan A.R (PDI Perjuangan) bertarung di dapil Sulawesi Selatan 5.
Lalu Andi Muh.Natsir (Golkar) dapil Sulsel 9, Ratte Salurante (NasDem) dapil Sulsel 10, Muhammad Kasmin (PKS) dapil Sulsel 4, dan Bayu Purnomo (Gelora) dapil Sulsel 11.
Sedangkan satu caleg lainnya bernama H.Syahrul (PKS) dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS). Dia terdaftar sebagai bacaleg dari PKS.
“Enam diakomodir karena sudah jedah lima tahun. Satu TMS karena masih bersyarat atau belum jedah lima tahun,”ujar Ketua KPU Sulawesi Selatan Hazbullah saat di konfirmasi di group whatsApp media dan KPU Sulsel 2023 pada 31 Agustus 2023.
Diketahui, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan uji materi yang diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan dua mantan pimpinan KPK Abraham Samad dan Saut Situmorang terkait calon anggota legislatif yang pernah dinyatakan sebagai koruptor.
Dalam putusan MA, KPU diminta untuk mencabut dua aturan yang dianggap memudahkan para maling ini untuk mengajukan diri lagi sebagai wakil rakyat. Dua aturan itu yakni Pasal 11 Ayat (6) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 dan Pasal 18 Ayat (2) PKPU Nomor 11 Tahun 2023.
“Memerintahkan kepada Termohon (KPU) untuk mencabut Pasal 11 ayat (6) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dan Pasal 18 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2023 tentang perubahan kedua atas Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2022 tentang pencalonan perseorangan peserta pemilihan umum anggota DPD serta seluruh pedoman teknis dan pedoman pelaksanaan yang diterbitkan oleh Termohon,” demikian bunyi keterangan tertulis MA, yang dirilis pada Sabtu 30 September 2023.
Dua ketentuan tersebut dipersoalkan karena dinilai membuka pintu bagi mantan terpidana korupsi untuk maju sebagai caleg tanpa menunggu masa jeda selama lima tahun. Aturan masa jeda ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam putusan, MA pun menyatakan Pasal 11 Ayat (6) PKPU 10/2023 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022.
Sementara, Pasal 18 Ayat (2) PKPU 11/2023 bertentangan dengan Pasal 182 huruf g UU Pemilu juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXI/2023. MA menyatakan kedua pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam pertimbangan hukum, MA menilai perlu ada syarat ketat dalam menyaring para calon wakil rakyat demi mencegah terjadinya tindak pidana korupsi oleh para wakil rakyat yang terpilih dari hasil pemilu.
MA menyebut tindak pidana korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa sehingga tidak adanya persyaratan ketat dipandang bakal mengakibatkan proses pembangunan yang terhambat dan tidak tepat sasaran, memengaruhi kebijakan publik dan produk legislasi yang koruptif.
Tujuan Pemilu adalah sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemerintahan negara yang demokratis maka diperlukan sistem penyelenggaraan Pemilu yang demokratis dan berintegritas.
Bahwa Pemilu yang Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (LUBER JURDIL) untuk memilih wakil rakyat yang berintegritas tinggi, perlu dibangun dengan sistem dan syarat pencalonan yang mencerminkan upaya pencegahan masuknya calon-calon wakil rakyat yang tidak berintegritas;
Kemudian guna memperoleh wakil rakyat yang berintegritas maka diperlukan syarat-syarat yang ketat terhadap proses pencalonan, sehingga warga negara yang mempunyai hak pilih disediakan calon-calon yang berintegritas tinggi untuk dipilih oleh partai politik (parpol) peserta Pemilu dan Komisi Pemilihan Umum.
Oleh karena itu, MA berpandangan bahwa KPU seharusnya menyusun persyaratan yang lebih berat bagi pelaku kejahatan yang dijatuhi pidana pokok dan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.
Menurut MA, pedoman jangka waktu lima tahun setelah terpidana menjalankan masa pidana adalah waktu yang cukup bagi eks terpidana kasus korupsi untuk introspeksi dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungan. Hal tersebut sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXI/2023.
Berikut bunyi Pasal 11 Ayat (5) dan (6) PKPU Nomor 10 Tahun 2023:
(5) Persyaratan telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, terhitung sejak tanggal selesai menjalani masa pidananya sehingga tidak mempunyai hubungan secara teknis dan administratif dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, dan terhitung sampai dengan Hari terakhir masa pengajuan Bakal Calon.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak berlaku jika ditentukan lain oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk pidana tambahan pencabutan hak politik.
Berikut bunyi Pasal 18 Ayat (1) dan (2) PKPU Nomor 11 Tahun 2023:
(1) Persyaratan telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf g, terhitung sejak tanggal selesai menjalani masa pidananya sehingga tidak mempunyai hubungan secara teknis dan administratif dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, terhitung sampai dengan Hari terakhir masa pendaftaran bakal calon.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika ditentukan lain oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk pidana tambahan pencabutan hak politik
Comment